Beberapa produk tabungan dibawah  bisa dijadikan pertimbangan teman-teman remaja dan anak muda yang ingin bikin tabungan plus ATM.

Gak mesti juga harus bikin di produk dan bank tersebut, karena ada produk tabungan  dari bank lainpun ada yang cocok  untuk  remaja dan anak muda.


Anak muda usia 17 yang sudah punya KTP misalnya, dia bisa bikin tabungan yang bersifat umum di bank mandiri, BRI atau

When in Rome do as the Romans do...
Peribahasa ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Belanda: ketika kamu di Amsterdam, naiklah sepeda. Begitu kira-kira :)

Saya memang berencana mengajak keluarga untuk sepedaan di Amsterdam kalau cuaca cerah. Dalam rangkaian jalan-jalan ke Eropa, kami cuma menginap dua malam di Amsterdam. Begitu ada satu hari tanpa hujan, kami langsung melipir ke tempat persewaan sepeda.

Kami menyewa sepeda di Mac Bike yang cabangnya ada di mana-mana di kota ini, salah satunya di sebelah stasiun Centraal. Selama di Amsterdam kami menginap di hotel Meininger Sloterdijk, satu stasiun dari Centraal. Setelah sarapan di hotel, kami naik kereta ke Centraal, sewa sepeda seharian untuk keliling kota, dikembalikan ke tempat semula dan nanti pulang ke Sloterdijk naik kereta lagi.

Sebenarnya nggak ada alasan tertentu saya memilih menyewa sepeda di Mac Bike, cuma karena lokasinya strategis saja. Mac Bike juga punya segala model sepeda, termasuk sepeda yang ada boncengannya untuk anak-anak. Tidak perlu syarat yang ribet untuk sewa sepeda, gak perlu pakai SIM juga :D Pelayanan di Mac Bike cukup ramah dan profesional. Sebelum jalan, kami dijelaskan cara menggunakan sepeda, termasuk cara menggerendel pakai gembok biar nggak dicuri orang.

Jenis dan harga sewa sepeda di Mac Bike bisa dilihat di websitenya. Kita bisa menyewa untuk 3 jam saja atau sewa seharian. Kami menyewa tiga sepeda, 1 sepeda dewasa dengan boncengan untuk Si Ayah dan Little A dan 2 sepeda anak-anak untuk Big A dan... saya, hiks. Ketika memilih sepeda, memang yang cocok untuk saya adalah sepeda anak-anak karena saya orangnya mini, setinggi Big A yang usianya 12 tahun. Big A ngakak bahagia ketika petugas Mac Bike memberi saya sepeda yang sama dengan yang dia naiki. Saya tersenyum kecut, tapi kemudian nyengir senang karena artinya sewa sepedanya sedikit lebih murah, hahaha. Total kami membayar EUR 34,25 dengan kartu kredit. Dengan kurs saat itu kalau dirupiahkan sebesar IDR 575,511.

Untuk tarif sewa sekarang (April 2024), sebagai berikut:
Sepeda dewasa biasa EUR 14,75 (sehari) atau EUR 11 (3 jam)
Sepeda dewasa dengan boncengan anak EUR 17,75 (sehari) atau EUR 12,5 (3 jam)
Sepeda anak-anak EUR 9,75 (sehari) atau EUR 7,5 (3 jam) 

Sebelum meninggalkan kantor Mac Bike, saya mengajukan pertanyaan maha penting: sepeda di sini jalannya di kiri apa kanan? Petugas Mac tertawa karena melewatkan informasi penting itu karena dia mengasumsikan kami semua sudah tahu. Ternyata, kami yang sudah terbiasa jalan di sebelah kiri (di Indonesia dan Australia) cukup kesulitan untuk mengganti mind-set berjalan di sebelah kanan, dalam waktu singkat.

Di depan stasiun Amsterdam Centraal

Meski tahu tidak gampang berganti jalur dari kiri ke kanan, kami nekat saja. Saya tidak membuat rute khusus untuk berkeliling kota dengan sepeda ini. Pokoknya menuju depan Rijks Museum yang ada tulisannya I AMSTERDAM. Kalau dihitung di google map, kami bersepeda sepanjang 3 kilometer. Si Ayah memimpin di depan, memilih jalan menyusuri kanal-kanal. Di kanan kiri kami terlihat bangunan dengan arsitektur khas Belanda.

Kami hanya mengandalkan peta kertas, bukan digital karena kami tidak membeli pulsa internet selama di Belanda. Ini yang sedikit membingungkan karena kami tidak tahu di mana kami berada. Nama jalan ada, tapi kami kesulitan mencocokkannya dengan peta. Saya yang biasanya pinter membaca peta jadi frustasi karena saya merasa melihat jalan yang sama berulang-ulang: jalan melengkung, kanal, jembatan.

Beberapa kali kami memutuskan berhenti. Selain untuk beristirahat, juga untuk melihat-lihat suasana. Karena tanpa persiapan, kami jadi merasa diberi kejutan bakal nemu apa di jalan. Yang pertama, kami tidak sengaja menemukan patung Multatuli. Sekalian kami beri pelajaran ke Big A dan Little A tentang Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker yang mengkritik penjajahan Belanda di buku Max Havelaar.

Stop kedua adalah di depan Koninklijk Paleis yang cukup ramai dengan turis. Setelah meminggirkan sepeda, kami berfoto-foto sebentar kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Dari Paleis, kami sempat nyasaaaar. Di tengah jalan saya dimarahin wong londo karena minggir ke sebelah kiri jalan. "To the right, please!" begitu teriaknya. Hiks, ja ma'am. Maaf ya Nyah, saya belum biasa minggir ke kanan. Si Ayah juga dimarahin orang karena sepedanya naik ke trotoar. "Jangan di trotoar woy, sepeda di jalan besar!" Si Ayah bingung juga karena sedang cari-cari jalan. 

Akhirnya kami sampai di tempat yang bisa untuk istirahat dan duduk-duduk: belakangan kami tahu kalau ini namanya Rembrandt Square. Sepeda kami parkir di depan coffee shop yang tidak hanya menjual kopi ;) Agak lama kami duduk di sini sambil menata hati dan mencari jalan terdekat ke Rijks Museum. Alhamdulillah, kami nggak tersesat lagi. Setelah melewati beberapa jalan melengkung dan jembatan, akhirnya kami sampai juga ke Rijks. Sepeda kami parkir di tempat parkir sepeda yang sudah terlalu penuh dengan sepeda (benar-benar Amsterdam). Di sini parkir sepeda gratis tapi toilet umumnya bayar, 50 sen sekali masuk.



Awas, coffee shop ini tidak hanya menjual kopi ;)
Kami tidak masuk ke museumnya, hanya nongkrong di luar sambil melihat-lihat turis yang ramai foto-foto di depan tanda I amsterdam. Susah mencari spot untuk berfoto sendiri karena orang-orangnya amprokan, bukan foto bergantian. Mungkin harus ke sini pagi banget kalau memang niatnya foto tanpa harus ngecrop orang lain. Di tempat ini juga ada taman bermainnya, yang membuat Little A cukup betah.

Dari Rijks Museum, kami berjalan kaki ke Van Gogh Museum. Saya ngincer beberapa museum di Amsterdam, tapi kami cuma sempat ke dua museum: Van Gogh di dekat Rijks yang kami kunjungi hari itu dan NEMO Science Museum di dekat stasiun Centraal yang kami kunjungi keesokan harinya. Di Van Gogh Museum, Little A mengisi lembar aktivitas untuk anak-anak dan setelah selesai dia mendapatkan suvenir berupa kartu pos dan stiker. Kami sekeluarga cukup senang dan puas di museum ini, bisa belajar tentang perjalanan kreatif seorang maestro seni lukis dunia.


Setelah puas main-main di kompleks museumplein, kami pulang ke stasiun centraal. Kami melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat tadi. Saya ingat melewati pasar bunga dan kemudian lewat red district. Saya tahu ini daerah red district karena saya lihat Mbak-Mbak dengan dandanan semlohay di depan gedung-gedung. Ada juga yang saya lihat mejeng di jendela. Setelah mengembalikan sepeda, saya tanya Si Ayah apa dia tahu kalau tadi lewat red district. Dia jawab nggak tahu. Hahaha, bukan rezekimu, Mas :p Moga-moga anak-anak juga nggak lihat apa-apa.

Dua hari memang terlalu sebentar untuk menjelajah Amsterdam. Tapi tetap alhamdulillah, satu impian saya sudah bisa saya coret dari daftar: foto di jembatan dengan latar belakang kanal Amsterdam. Semoga sepeda anak-anaknya nggak terlalu mencolok ya :D


~ The Emak

Klotok Borneo Lestari
Kami sudah pernah mencoba berbagai macam penginapan, mulai dari menginap di tenda, kabin, apartemen, motel, hostel, suite hotel bintang lima, campervan sampai terombang-ambing di kabin kapal feri menyeberangi Tasmania. Menginap dua malam di perahu klotok (atau kelotok) adalah pengalaman baru yang kami nanti-nantikan. Ternyata asyik kok, goyangnya nggak seberapa dan gak bikin mabuk. Malah berasa naik kapal pesiar :D

Menginap di klotok adalah standar akomodasi ketika kita mengunjungi Tanjung Puting National Park. Di sini memang ada satu hotel dan beberapa homestay, tapi pengalaman yang lebih otentik adalah dengan Live On Board (LOB) di river house boat alias klotok ini.

Klotok adalah perahu tradisional Kalimantan yang dibuat dari kayu Ulin. Ukurannya bervariasi. Diberi nama klotok karena tadinya perahu ini menggunakan mesin bersuara keras, terdengar seperti "klotok klotok klotok". Mesin kapal yang sekarang sudah lebih halus, tapi nama klotok masih menempel. Klotok kami ukuran kecil, sekitar 3 x 12 m, muat untuk berdua sampai berempat. Berenam mungkin cukup, tapi ruang geraknya terbatas. Klotok ini terdiri atas dua lantai. Lantai di bawah adalah untuk servis: tempat tidur kru, ruang kemudi, dapur dan kamar mandi. Sementara lantai atas untuk turis, terdiri dari lounge yang bisa disulap jadi tempat tidur di malam hari, ruang makan plus wastafel dan viewing deck di depan dan belakang.

Dari bandara Iskandar di Pangkalan Bun, kami naik taksi sekitar 30 menit sampai pelabuhan Kumai. Di sana, klotok kami sudah menunggu. Untuk sampai ke klotok, kami menyeberangi (melompati) klotok-klotok lain. Big A senang bagian lompat-lompat ini, sok pede tanpa dipegangi. Seru!

Begitu sampai di klotok, kami berkenalan dengan kru yang akan mendampingi kami selama 3 hari 2 malam. Ada Pak Syahrizal sebagai kapten kapal, Pak Pi'i sebagai pemandu (tour guide), Bu Atik sebagai koki dan Heri sebagai asisten. Terasa mewah banget bagi kami punya 4 asisten sekaligus, soalnya di rumah kami nggak ada ART, apalagi sopir.


Pelabuhan Kumai

Kondisi klotok kami cukup bersih dan nyaman, meski perabotnya sederhana. Selama menyusuri sungai Sekonyer, kami leyeh-leyeh di kasur tipis yang digelar di lounge. Angin yang membelai lembut membuat kami jadi ngantuk dan sukses tidur siang bergantian, dengan pose masing-masing :))

Menjelang malam, Kapten kapal akan mencarikan tempat yang nyaman untuk menambatkan kapal di pinggir sungai. Kami parkir di sebelah pohon yang penuh dengan kunang-kunang. Setelah makan malam, kru akan menyiapkan tempat tidur kami. Lounge disulap menjadi dua 'kamar tidur' lengkap dengan kelambu. Kami bisa tidur dengan nyenyak karena suasana malam sangat tenang. Sayangnya saya lupa membawa selimut (sarung Bali serbaguna yang biasanya saya bawa). Alhasil kami berebut sarung Si Ayah untuk selimutan. Mungkin bagi bule-bule, udara malam di Pangkalan Bun tidak dingin sama sekali, beda dengan yang kami rasakan. Selimut tipis sudah cukup kok. Nyamuk nakal tidak sampai mengganggu kami karena ada kelambu dan kami juga mengoleskan roll on anti nyamuk.


Malamnya tidur ditemani kerlip kunang-kunang, paginya kami dibangunkan oleh ocehan burung-burung.


Kamar mandi klotok cukup bersih dan tidak bau. Ada toilet duduk, tapi tanpa flush, jadi kami harus mengguyur toilet dengan menggunakan gayung. Air yang dipakai untuk mandi adalah air tanah (sungai kecil) di daratan, yang diambil di Pondok Tanggui dan air merah (air akar) di Camp Leakey. Sementara air untuk toilet adalah air sungai Sekonyer. Airnya cukup segar untuk mandi. Saya juga berhasil memaksa precils untuk mandi, setelah badan lengket oleh keringat gara-gara trekking. 

Dari dek kapal, depan dan belakang, kami bisa duduk santai menikmati pemandangan. Awalnya adalah vegetasi pohon nipah, kemudian berganti dengan daun-daun pandan hutan dan akhirnya vegetasi pohon hutan hujan tropis, dengan air sungai sebening air teh. Little A sempat menggambar dan membuat cerita tentang perjalanan kami. Ketika memasuki kawasan taman nasional, kami berkali-kali melihat hewan liar di alam, seperti monyet, bekantan, lutung dan orang utan. Kupu-kupu cantik tak terhitung banyaknya berseliweran di perahu kami.



Bagian yang paling mengasyikkan (setidaknya buat The Emak) dari jalan-jalan kali ini adalah: makanannya. Asyik karena nggak perlu masak, apalagi cuci piring, hehehe. Semua telah terhidang tepat saat jam makan. Makanannya enak karena bahannya segar dari alam dan dimasak di tempat. Menunya adalah olahan ikan dengan nasi, sayuran dan buah-buahan. Untuk sarapan pagi hari pertama kami dibuatkan pancake pisang (endeeees!) dan juga disediakan roti dengan berbagai macam olesan. Sarapan berikutnya kami dibikinkan nasi goreng. Baru kali ini juga saya ketemu yang namanya buah cempedak, yang memang banyak ditemukan di sana. Rasanya enak banget, perpaduan antara manisnya nangka dan creamy-nya durian. Baunya harum, tapi tidak semenusuk bau durian.
Untuk makanan ini, saya tidak minta macam-macam. Saya hanya bilang agar makanannya dibuat tidak pedas untuk anak-anak, tapi tetap disediakan sambal untuk Si Ayah. 

Selain makan berat, kami juga selalu diberi camilan dan soft drink atau jus dingin setiap kali selesai trekking. Duh, dimanja sekali pokoknya. Di kulkas rumah kami tidak pernah ada minuman bersoda, jadi Precils nyengir-nyengir bahagia boleh minum coke dan sprite selama liburan.




Ketika saya memesan paket liburan ini ke Kak Indra @bpborneo, saya belum tahu akan dapat klotok yang mana. Memang kami dikirimi contoh perahu kelotok dan menu makanan, tapi belum pasti dapat klotok yang mana. Dalam perjalanan ke Tanjung Puting NP, kami berbarengan dengan klotok-klotok lain beraneka rupa. Seperti biasa, klotok tetangga tampak lebih hijau, hahaha. Ada satu klotok tetangga yang mewah banget interiornya, dengan kasur spring bed dan mandi air panas. Bulenya yang naik cakep pula :p Tapi setelah kami pulang dan saya cek tarifnya, memang bukan kelas kami, hehe.

Saya merasa beruntung mendapat kru yang baik di klotok ini. Pak Pi'i, pemandu kami tadinya adalah koki, tapi kemudian berusaha belajar dan mengikuti kursus agar bisa menjadi pemandu. Dia belajar tentang taman nasional, margasatwa, konservasi orang utan dan juga bahasa Inggris dari pelatihan yang diadakan departemen pariwisata. Pak Pi'i ini senang dengan anak-anak dan bisa akrab dengan Little A. Ketika Little A capek trekking, Pak Pi'i mau menggendongnya di pundak. Untung badannya besar. Pak Pi'i juga yang selalu membawakan botol-botol air minum kami. Manja banget ya, dasar turis Indonesia :)) Di hari terakhir sebelum tugasnya selesai, dia sempat memberikan pelajaran sulap untuk Little A. Bonus!

Untuk liburan ke Taman Nasional Tanjung Puting ini saya memesan paket 3 hari 2 malam, yang termasuk antar jemput bandara, sewa klotok, bahan bakar, gaji kru, makan dan minum, dan tiket masuk ke taman nasional. Tarif 3D/2N untuk dewasa adalah Rp 1.750.000 per orang, sementara untuk anak-anak Rp 1.500.000 per orang. Total Rp 6,5 juta all in. Tinggal nambah tiket pesawat dari kota masing-masing ke Pangkalan Bun.

Yang nggak sanggup bermalam di perahu, bisa menginap di Rimba Ecolodge atau homestay yang ada di sana. Tapi dijamin, pengalamannya lebih seru kalau menginap di perahu, goyang-goyang kecilnya masih terasa sampai dua hari kemudian :)

Klotok tetangga, pakai spring bed
Penginapan Rimba Eco Lodge
Pak Pi'i, pemandu kami
Pak Syahrizal (kapten) dan Bu Atik (koki)
~ The Emak

Baca juga: 
Orang Utan Trip With Kids: Itinerary & Budget
Big A dan Lil A di kabin Garuda kelas bisnis. 

Siapa sih yang nggak pengen nyobain naik pesawat di kelas bisnis? Aku dan Nino pernah di kesempatan berbeda, sementara anak-anak belum pernah punya pengalaman ini. Alhamdulillah kesempatan naik kelas bisnis datang pas kami mau berangkat ke Jerman.

Ketika visa nasional Jerman kami beres, aku mulai berburu tiket pesawat one-way ke Frankfurt. Akhirnya dapat harga termurah Oman Air dari Jakarta. Tiket pesawat Surabaya - Jakarta harus kubeli terpisah. Aku pilih pakai Garuda biar lebih nyaman transit dari T3 ke T2. Tadinya aku beli tiket ekonomi. Tapi setelah ingat kalau jatah bagasi ekonomi masing-masing hanya 20kg, aku jadi resah (tsaaah). Kami kan emang pindahan bedol desa ke Jerman, bawa 2 koper besar dan 2 koper kecil, jelas lebih dari 60kg. Kalau memang mau naik kelas ekonomi, perlu beli tambahan bagasi. Trus aku langsung mikir, gimana kalau upgrade jadi bisnis ajaaa? Kan bayarnya bisa pakai miles, nggak pakai duit. Hahaha, ini salah satu taktikku biar disetujui sama Nino. Pokoknya mana yang lebih hemat aja.

Singkat cerita, setelah itung-itungan, aku memutuskan upgrade tiket Garuda pakai miles. Cuma perlu 5000 miles untuk upgrade dari kelas ekonomi ke kelas bisnis untuk penerbangan Surabaya - Jakarta. Untungnya miles GFF Nino masih banyak. Aku cukup bermodal surat keterangan dari dia plus tanda tangan di atas materai bahwa dia mentransfer miles-nya buat aku dan anak-anak. Karena rencananya upgrade ini kuurus setelah Nino berangkat duluan ke Jerman. 


Cek-in-nya jangan salah di ekonomi ya :p

Nge-lounge dulu sebelum berangkat 

Di hari H keberangkatan kami bertiga, Lil A seneng banget pas kubilang kami bakalan naik bisnis. Selesai membungkus koper dengan plastik, aku celingak-celinguk mencari tempat cek in kelas bisnis. Kok kayaknya nggak ada di sebelah yang ekonomi ya? Sampai petugas wrapping bertanya, "Mau ke mana, Bu?" Kubilang ke Jakarta kelas bisnis. Akhirnya kami diantar petugas wrapping ke tempat cek in kelas bisnis dan kelas utama, yang ternyata lokasinya beda dengan kelas ekonomi. Lil A tertawa-tertawa, Big A pasang wajah luruuuus tanpa ekspresi. Dia bahkan males foto di konter cek in dan di lounge.

Lounge Garuda di Juanda T2 standar aja sih, ada sofa, makanan, dan colokan. Tapi yang penting toiletnya bersih dan wangi. Dan sepiiiiii. Karena kami nggak lapar-lapar banget, kami cuma minum dan nyemil tipis-tipis.


Jangan salah masuk ekonomi, wkwkwk


Sampai saatnya boarding. Aku mengingatkan Lil A jangan sampai salah masuk ke jalur ekonomi. Lil A ngikik bahagia, Big tetep lempeng.

Karena penerbangan kami ke Frankfurt (via Muscat) berangkat jam 14.30, aku pilih Garuda yang sampai Soetta jam 11.40, biar nggak mepet banget transitnya. Kami beruntung karena penerbangan GA311, SUB - CGK jam 10.05 - 11.40 itu menggunakan pesawat Airbus A330-200. Ini pesawat yang lebih besar daripada Boeing 737-800 yang biasa digunakan untuk rute Surabaya - Jakarta. Airbus ini pesawat yang sama yang digunakan untuk rute ke Australia. Tentu saja, desain kelas bisnisnya lebih bagus, dengan kursi yang bisa jadi flat bed. Meski nggak kami gunakan buat tidur juga sih. Yang penting, ini jenis kelas bisnis yang sama yang pernah dicoba Nino dari Jakarta ke Sydney. Yay!

Setelah masuk kabin dan dapat kursi, Big A mulai bisa senyum. Pramugari menawarkan bantuan untuk memotret kami bertiga. Suasana lebih santai daripada kabin ekonomi karena kelas bisnis ini nggak penuh. Baru ketika pesawat sudah siap mau berangkat, ada pasangan suami istri yang naik. 

Aku nggak begitu terlalu mengamati ukuran kursi dan jarak antar kursi. Tapi kata @diladol yang mengomentari instastory-ku, "Wah, jarak antar kursinya luas banget bisa buat main futsal." Begitulah kira-kira gambaran yang tepat. Kalau aku duduk sambil selonjor, masih belum menyentuh kursi di depannya. Ora geduk. Ya itu sih karena panjang kakiku ya :p





Begitu pesawat mengudara dan stabil, kami langsung ditawari makan. Ada dua pilihan menu, nasi atau pasta. Lil A pilih pasta, sementara aku dan Big A makan nasi. Tak lupa ada roti dan butter kesayangan kami semua. Plus buah potong dan jenang sebagai dessert. Semuanya enaaaaak. Lihat deh senyum Lil A yang seneng banget makan menu lengkap. Dia sampai nangis ketika melihat Bapak pejabat yang duduk di depannya tidak menyentuh roti dan butter sama sekali. "Padahal enak banget kan, Ma? Kenapa disia-siakan?" Duh, anakku kadang memang lebay. Tapi bener deh, eman-eman banget kalau makanannya sampai nggak habis. Menu bisnis Garuda ini nggak kalah sama menu Book The Cook SQ. Meski penerbangannya pendek banget, mereka bisa menyajikan makanan dengan baik.






Setelah makanan tandas, kami mengisi waktu dengan mendengarkan musik, main game, dan nonton 'cuplikan' film di entertaintment system Garuda. Kalau naik bisnis begini, waktu begitu cepat berlalu, hahaha. Rasanya pengen nambah jam terbangnya, mau muter-muter di atas Jakarta dulu pun nggak masalah, hahaha. Rute Surabaya - Jakarta emang cuma satu setengah jam sih. Moga-moga ntar kami bisa nyobain kelas bisnis di rute yang lebih panjang. Amin.







Enaknya naik kelas bisnis nggak cuma pas di kabin aja lho. Setelah pesawat mendarat, bagasi kita bakal keluar duluan. Kita tinggal duduk manis menunggu di baggage service untuk business & first class. Bisa sambil ngopi karena tersedia mesin kopi juga. Tapi kami nggak sempat santai-santai karena bagasinya sudah datang dan petugas membantu menaikkan ke troli.

Alhamdulillah perjalanan Surabaya - Jakarta lancar. Next lanjut cek in Oman Air Jakarta - Muscat - Frankfurt di kelas... ekonomi ;)

~ @adekumala
Follow our IG @travelingprecils
Tom, penguasa Camp Leakey
Saya sudah bercita-cita mengunjungi Tanjung Puting National Park sejak lama, ketika pesawat ke Pangkalan Bun masih pakai baling-baling dan hanya ada dari bandara Semarang. Niatan saya menguat ketika mengunjungi Singapore Zoo dua tahun lalu. Di sana, orang utan kita dijadikan maskot dan diperlakukan istimewa. Sementara di sini kadang saya menemukan orang-orang yang menjadikan orang utan sebagai bahan olok-olok dengan teman. Waktu itu saya berjanji ke Little A untuk membawanya mengunjungi orang utan di habitat aslinya. "Their real home is in Indonesia?" tanya Little A. Yes!

Alhamdulillah trip mengunjungi orang utan ini bisa terwujud tahun ini ketika ada liburan paskah. Kami memesan tur 3 hari 2 malam. Di tulisan ini saya akan sharing rangkuman itinerary dan budgetnya dulu. Tentang klotok dan taman nasional Tanjung Puting akan saya tulis tersendiri. 

Bisa nggak sih mengunjungi orang utan di habitat aslinya bersama anak-anak? Bisa banget.

Day 1
Pesawat kami berangkat jam enam pagi dari Surabaya. Cuma diperlukan waktu 55 menit untuk terbang menuju bandara Iskandar di Pangkalan Bun. Selain dari Surabaya, Pangkalan Bun (PKN) bisa dicapai dari Jakarta (1 jam 15 menit), Solo dan Semarang. Maskapai yang melayani rute ini adalah Trigana Air dan Kalstar.

Keluar dari bandara, kami disambut guide yang mengantar kami ke pelabuhan Kumai, tempat klotok parkir. Perjalanan dari bandara Iskandar ke Kumai sekitar 30 menit. Setelah beres-beres sebentar dan berkenalan dengan kru klotok (river boat), kapal berangkat dari Kumai jam 9 pagi. Klotok berjalan pelan menyusuri sungai Sekonyer yang menjadi batas luar dari Taman Nasional Tanjung Puting. Di kiri kanan sungai kami melihat pohon-pohon Nipah yang daunnya digunakan sebagai atap rumah oleh penduduk lokal. Daun muda Nipah juga menjadi makanan orang utan.

Setelah tiga jam, klotok ditambatkan untuk istirahat dan makan siang. Jangan khawatir, makan siang sudah disiapkan oleh tukang masak yang ikut sebagai kru klotok. Kami tinggal makan saja. Manja banget ya orang Indonesia? Hehe.

Jam dua siang, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Harapan. Dari tempat kami parkir klotok, cuma perlu waktu setengah jam. Dari dermaga, kami perlu berjalan kurang lebih setengah jam (1 km) ke tempat pemberian makan orang utan (feeding platform). Jalan setapaknya mulai dari tanah berpasir sampai tanah gambut yang becek dengan akar pohon yang menonjol. Ya namanya juga hutan :p Little A (6 tahun) kuat jalan sendiri. Untuk anak balita mungkin perlu digendong atau jalan pelan-pelan. Jadwal pemberian makan di Tanjung Harapan adalah jam tiga sore.

Sekitar jam tiga sore, petugas meletakkan dua karung buah-buahan dan satu baskom besar susu di feeding platform. Kami para turis (lebih banyak bulenya daripada orang Indonesia) menunggu kedatangan orang utan dengan harap-harap cemas, semua siap dengan gadget di tangan :D

Kami termasuk beruntung karena bisa bertemu dengan Gundul, orang utan penguasa Tanjung Harapan. Saat musim buah begini, tidak banyak orang utan yang datang ke tempat pemberian makan karena mereka sudah cukup kenyang dengan buah-buahan di alam liar. Selain Gundul, ada beberapa orang utan dan bayi mereka yang ikut nimbrung minum susu, tentu dengan seizin si penguasa.


Sejam kemudian kami kembali naik ke kelotok dan mulai berburu Bekantan. Kalian ingat maskot Dufan? Nah, seperti itulah bekantan (Proboscis Monkey), monyet yang hidungnya panjang, yang merupakan endemik di Tanjung Puting. Kami menemukan banyak bekantan yang nongkrong di pucuk pohon, menunggu matahari terbenam. 

Makan malam alias candle lit dinner disajikan pukul tujuh. Guide kami mencarikan tempat berlabuh yang banyak kunang-kunangnya. Klotok bagian atas disulap menjadi tempat tidur, lengkap dengan kelambu untuk menangkal nyamuk dan serangga. Sayang sekali di langit tidak terlihat bintang karena mendung. Kami tidur ditemani suara-suara binatang malam.


Jalur trekking menuju Tanjung Harapan
Gundul, penguasa Tanjung Harapan
Day 2
Kami bangun disambut oleh suara-suara burung yang bersahutan. Sarapan disajikan jam 6.30. Menunya roti panggang dengan macam-macam olesan dan banana pancake. Yummy. Sambil sarapan, klotok tetap berjalan karena kami tidak ingin terlambat ke Pondok Tanggui. Jadwal pemberian makan di Pondok Tanggui adalah jam sembilan pagi.

Sekitar dua jam kemudian kami sampai di dermaga Pondok Tanggui. Trek menuju feeding platform juga sekitar 1 km, dapat ditempuh dengan jalan santai kurang lebih setengah jam. Belum sampai ke tempat pemberian makan, kami sudah melihat orang utan yang leyeh-leyeh di pohon bersama bayinya: Ricak dan Robby. Anak orang utan diberi nama sesuai huruf awal ibunya. 

Ternyata tidak ada orang utan yang datang di feeding platform Pondok Tanggui. Kami dan turis lainnya menunggu sampai satu jam, tidak ada seorang pun, eh, seekor pun yang datang. Yah gimana lagi, mungkin mereka sudah tercukupi kebutuhannya di dalam hutan. Akhirnya kami trekking untuk melihat vegetasi yang ada di sekitar hutan Pondok Tanggui. 

Dari Pondok Tanggui kami melanjutkan ke Camp Leakey, sekitar dua jam perjalanan. Kami makan siang di jalan, masih dengan menu ikan segar yang baru saja dimasak. Jadwal pemberian makan di Camp Leakey adalah jam dua siang. 

Trekking dari dermaga Camp Leakey menuju feeding platform cukup jauh, dua kali lipat dari camp sebelumnya. Kami butuh waktu 45 menit berjalan dengan kecepatan sedang. 

Hari ini kami beruntung bisa bertemu dengan Tom, alpha male di Camp Leakey. Penguasa hutan ini umurnya 35 tahun dan punya kekuatan delapan orang dewasa. Jadi memang aturannya kita tidak boleh dekat-dekat dengan orang utan, apalagi mengajak selfie. Ingat, ini habitat asli mereka, bukan kebun binatang. Setelah bertemu Tom, kami sempatkan singgah di information centre untuk melihat foto-foto dan display pengetahuan tentang orang utan. Tahu nggak kalau DNA orang utan 97% sama dengan DNA manusia? :)

Di sebelah information centre adalah rumah Dr Birute Galdikas yang pertama kali meneliti orang utan di Tanjung Puting sejak tahun 1971.


Jam empat sore kami pergi dari Camp Leakey. Pak Pi'i, guide kami menawarkan trekking malam untuk melihat binatang-binatang nocturnal di Pondok Ambung, tapi kami sudah terlalu capek dan anak-anak juga tidak mau. Hahaha, turis malas :p 

Sebagai gantinya, kami bisa melihat gerhana bulan dari deck klotok dan makan malam bersama ribuan bintang yang terlihat benderang di langit. Karena kecanggihan kamera kami tidak bisa mengabadikan keindahan bulan dan bintang-bintang di malam hari, semuanya kami rekam baik-baik dalam ingatan. Sambil nyanyi lagunya Ed Sheeran '... kiss me under the light of a thousand stars...'


Keluarga precils di Camp Leakey
Day 3
Hari ini kami sudah harus balik lagi ke kota, meninggalkan sungai dan hutan yang tenang dan damai. Sarapan dihidangkan jam tujuh. Kemudian jam sembilan kami berangkat menuju Sekonyer Village untuk berjalan-jalan dan melihat suasana desa di tepi sungai Sekonyer ini. Dulu, penduduk ini tinggal di dalam taman nasional, tapi kemudian dipindah ke sini dan beranak pinak.
 

Sambil berjalan kembali ke pelabuhan Kumai, kami makan siang awal, sekitar jam sebelas. Jam dua belas siang kami sudah sampai di Kumai. Setelah berpamitan dengan kru klotok, kami diantar ke bandara dan bisa langsung cek in menuju Surabaya.
 
Sebenarnya ada itinerary untuk 2 hari 1 malam yang bisa dilakukan di akhir pekan. Tapi itinerary 2D/1N ini cukup padat dan melelahkan. Di hari pertama (pagi hari) kita diantar langsung menuju Camp Leakey, camp yang paling jauh dari pelabuhan Kumai. Perjalanan bisa sampai enam jam. Baru di hari kedua, klotok berbalik arah dan singgah di Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan, sekalian kembali ke pelabuhan Kumai.

Klotok alias River Boat yang kami sewa
BUDGET
Saya memesan tur ini ke Kak Indra dari @bpborneo. Tarif tur sudah all in termasuk transfer dari bandara ke pelabuhan Kumai, sewa klotok + bahan bakar, gaji kru (kapten, cook, asisten), guide, tiket masuk taman nasional, tiket kamera, biaya parkir klotok, makan 7 kali, camilan beserta teh kopi soft drink. Kami tinggal beli tiket pesawat (saya beli via Traveloka) dan bawa badan saja.

Tiket pesawat Trigana Air SUB - PKN pp       4x 1.150.000 = IDR 4.600.000
Tour all in Adult                                         2x 1.750.000 = IDR 3.500.000
Tour all in Children                                     2x 1.500.000 = IDR 3.000.000

TOTAL (4 orang ) = IDR 11.100.000

Pengeluaran lain (opsional) untuk membeli suvenir dan tip kru (kalau mau memberi).

Sebelum memutuskan ngetrip dengan Backpacker Borneo, saya sudah cek toko sebelah, dan memang Kak Indra yang tarifnya paling terjangkau buat kami. Satu kapal klotok bisa eksklusif untuk keluarga kami saja, empat orang. Tentu kalau ngetrip dengan lebih banyak orang, jatuhnya akan lebih murah per-orangnya. Klotoknya juga akan dapat yang lebih besar. Tapi rata-rata fasilitasnya sama, hanya furniture dan dekorasinya saja yang berbeda. Harga yang lebih mahal biasanya dapat kapal yang lebih baru dengan interior yang lebih bagus.

Sebelum memutuskan ngetrip dengan siapa, coba cek dulu beberapa operator tur yang aktif di sosial media ini:
1) Tukang Jalan
2) Kakaban Trip
3) Ibu Penyu

Kalau ingin naik klotok yang lebih fancy, bisa pesan klotok langganan emak-emak Ostrali ini. Tapi tarifnya dolar :D http://www.borneotour.org

Atau kalau nggak sanggup tidur di kapal dan nggak bisa hidup tanpa AC dan mandi air panas, bisa menginap di hotel satu-satunya di sana. Cek langsung di http://rimbaecolodge.com 

Saya sendiri memilih Kak Indra yang putera Borneo asli. Cek blognya di sini, dan website turnya di sini.

Tur mengunjungi orang utan di habitat aslinya ini sangat menyenangkan karena perjalanannya santai. Bagi anak-anak, ini pengalaman istimewa yang akan mereka kenang dan bisa mereka ceritakan ke teman-temannya. Bisa jalan-jalan di hutan, tidur di kapal, mandi dengan air sungai, melihat bintang, melihat orang utan, bekantan, monyet, lutung, gibon, ratusan kupu-kupu di rumahnya sendiri. Pengalaman seperti ini tidak bisa mereka dapatkan di kebun binatang dalam kota.

~ The Emak

Baca juga: 

Menyusuri Sungai Sekonyer dengan Klotok